e shtunë, 16 qershor 2007

Ekspor Tuna RI Terpuruk

Ekspor tuna Indonesia terpuruk sejak naiknya harga bahan bakar pada 1 Oktober 2005 dan harga jual di pasar internasional tidak berubah.
"Gap antara blok cost dan blok revenues inilah sumber utama pendarahan (bleeding) industri tuna," kata Prof Tridoyo Kusumastanto, PhD dalam salah satu konferensi Agrinex Conference & Expo 2007 yang diselenggarakan oleh IPB, HIPMI dan Performax, di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut dia, ekspor ikan tuna Indonesia (dari Sumatera Barat) ditolak di Jepang karena rusaknya kualitas ikan akibat pengemasan dan proses transportasi yang salah.
Sejak bulan Desember 2006 hingga saat ini aktivitas ekspor ikan tuna melalui Bandara Internasional Minangkabau (BIM) terhenti. Ikan tuna segar merupakan bahan inti dalam membuat shashimi, salah satu makanan tradisional Jepang yang sangat digemari.
Di pasar Jepang, Taiwan merupakan pengekspor ikan tuna segar terbesar, lalu diikuti Korea dan Thailand.
Berdasarkan data pada 2002, Indonesia hanya menempati posisi kelima dengan pangsa pasar 6,4 persen, digeser RRC yang berhasil meningkatkan ekspornya hingga 46 persen.
Padahal, kata Tridoyo, Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi besar sebagai penghasil komoditas perikanan dunia khususnya tuna.
Selain dari segi kuantitas, lanjutnya, Indonesia memiliki jenis ikan yang beraneka ragam, seperti ikan tuna dengan jenis-jenis, antara lain, albacore, big-eye, bonito, southern bluefin, skipjack, tongkol, dan yellowfin.
Ikan tuna (Thunnus Sp) merupakan jenis ikan pelagis yang hampir terdapat di semua daerah tropis ataupun subtropis.
"Posisi perairan Indonesia yang terletak di antara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik merupakan daerah perlintasan ikan tuna dalam pengembaraannya," paparnya.
Tridoyo menjelaskan permasalahan utama dalam perikanan tuna terkait dengan adanya isu IUU Fishing (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) yang mengurangi potensi ekonomi Indonesia dari penangkapan tuna.
Selain itu, lanjutnya, pengelolaan industri tuna di level nasional (domestik) juga dinilai tidak mendukung perkembangan industri tersebut. "Pengurusan izin yang seharusnya tidak lebih dari satu bulan akan memakan waktu lebih dari enam bulan dan terkadang hingga mencapai satu tahun, yang bagi pelaku industri dan bisnis perikanan akan sangat tidak kondusif sekaligus tidak kompetitif," paparnya.
Tridoyo memaparkan belum adanya persepsi yang sama dari pemerintah daerah terhadap industri tuna menyulitkan proses penangkapan ikan tersebut terkait izin yang harus dipegang perusahaan.
"Dengan sifat sumberdayanya yang khas (transboundary and migratory species), maka industri penangkapan tuna adalah industri yang mobile dan dinamis melampui batas-batas administrasi daerah," katanya.
Domestikasi izin, lanjutnya, merupakan salah satu isu yang penting untuk dikaji, namun semangat yang harus dituangkan dalam kebijakan industri tuna harus tetap dalam koridor kepentingan nasional.
"Penyamaan visi dan misi terhadap pentingnya industri tuna dalam perspektif nasional ini diharapkan dapat dilakukan dalam sebuah lembaga koordinasi industri perikanan tuna nasional," demikian Tridoyo.

dikutip dari : http://www.gatra.com/artikel.php?id=103140

Nuk ka komente: